Search This Blog

Senin, 30 Juli 2012

Hujan



Seseorang mungkin telah menangis
Di tengah bintang yang hilang
Mungkin karena itu, hujan mengguyur, dingin
Deras, sesekali
Lalu tersedu-sedu
Me-la(ha)p semuanya, air matanya
Tapi, masih basah
Kasihan dia, hujan...
Pinrang, Ramadhan 2012

Tuhan


Tuhan, entah siapa yang mulai,
Manusia yang membuatmu rumit
Atau Kau yang rumit?
Tidak Tuhan, bukan...
Aku tak ingin berbuat dosa,
Tapi itu sudah takdir,
aku bersujud, mohon ampun...
Pinrang, Ramadhan 2012

Rabu, 25 Juli 2012

Ayah


pemilik blog

“Yah...”

Subuh. Matahari belum terbit. Dingin diujung jariku. Menyentuhnya. Seperti sehelai tissu yang jatuh ke lantai. Lembut sekali halus. Kemudian, kulit kasar itu berdebar. Matanya lebar terbuka. Gelap perlahan hilang. Terang. Semua kembali menyala. Ayah terbangun.

“Ya? Sudah pagi? Terapi kali ini terasa sakit, Nak. Hehehe...”

Senyumnya merekah. Sudah hampir beratus kali ayah mengiburku dengan cara yang sama. Tawanya seakan terpaksa. Hiburannya kadaluarsa. Mengharap nuansa. Menepis sedih, bukan milik kami.

Ayah pergi ke sekolahku dengan seragam terbaiknya. Meskipun masih menyimpulkan kata usang. Tak masalah. Ayah tetap pergi ke sekolahku—sambil membawa gerobaknya. Acara penamatan sekolah digelar. Dan ayah diundang.

+++

Jika dipikirkan aku tak akan berseragam putih abu-abu kalau bukan karena ayah. Untung ayah tak pernah memikirkannya. Sudah bertahun-tahun ayah menjadi pemulung di Kota. Ia tak ingin jadi peminta-minta. Alasannya jelas, menjadi pemulung berarti mengurangi sampah sedang jadi peminta-minta hanya mengurangi keindahan sudut-sudut kota.

Apa lagi yang ingin kau tahu? Rumahku? Baiklah... Rumahku kecil. Sama seperti gubuk. Bahkan mungkin lebih rendah dari pada gubuk. Alasnya bukan lantai, tapi tanah. Dindingnya dari anyaman rotan buatan ayah. Atapnya juga, dirangkai dari daun-daun kelapa yang dibuat oleh ayah. Jika ada angin kencang, rumah ini seperti mau terbang. Seperti ingin meninggalkan aku dan ayah. Apalagi jika ada demo, kami tidak tahu harus tidur dimana.

Tenang, itu belum pernah terjadi. Tersudut. Terasing. Tersisihkan. Menjadi milik lingkungan rumah kami. Gambarannya sama seperti yang kau lihat disiaran TV-TV swasta yang menceritakan kemiskinan. Tapi ayah tak pernah risau apalagi galau.

“Kau harus tahu, kita patut bersyukur karena disini. Lihat sekelilingmu! Kita bebas dari kebisingan kota. Bahkan jika kita dikota, kita juga harus bersyukur.”

Sekilas tentang rumahku. Seperti biasa, sama seperti beribu-ribu orang yang ada di pulau ini.

Tiap pagi, sebelum berangkat ke sekolah. Aku mencium tangan ayah. Menjalar nalar hangatnya ke hatiku. Tatapannya selalu berkaca-kaca. Tapi tak pernah kaca itu pecah. Retakpun tak akan terjadi. Ayah orang yang kuat. Aku tahu itu.

Selama sepanjang hidupku bersama ayah. Tak banyak yang diinginkannya. Motor, mobil dan lain-lain yang pakai orang sebagian besar bukan keinginannya. Ayah hanya ingin sebuah kasur. Baru maupun bekas. Yang jelas kami puas—nantinya, jika kami benar-benar punya.

Impian ayah mungkin kecil. Hanya sebuah kasur yang diinginkan. Tak lebih. Namun, perjuangannya tak sekedar tenaga. Keringat bercucuran elan. Berjuta air mata tersita. Sebelum melangkah ke impiannya, kami harus memikirkan apa yang kami akan makan. Kosong pandangan, melihat kasur ada di rumah.

Ayahku orang hebat. Selalu ku katakan itu. Meski, sekilo adalah dua ribu rupiah. Ia tetap selalu bersikeras mengumpulkan berkilo-kilo botol plastik. Hasilnya, dari matahari tebit hingga tenggelam, hanya dua tiga kilo yang dapat ia kumpulkan. Ia senang. Raut wajahnya selalu merekah sebuah senyuman. Tak terpikir olehku dia masih bisa tersenyum. Empat lima ribu rupiah, hanya sebungkus nasi kuning saja yang dibagi dua. Bukan hal yang jarang.

Sementara aku? Yah sebagai pelajar. Aku belajar. Jadi orang pintar. Disetiap penerimaan rapor selalu aku yang menyabet ranking satu dua. Ayah selalu janji kepadaku, kalau aku bisa mempertahankan hingga tamat, kami akan berbaring tiap malam di kasur.

Melihatnya semangat. Ingin sekali membantu. Sangat ingin jadi pemulung. Terbesit pikiran untuk berhenti sekolah. Aku menanyakannya kepada ayah.

“Yah, lebih baik aku kerja saja. Dari pada aku se...” Ucapku pelan. Sehalus kain sutra. Tapi terpotong.

“Ng? Maksudmu?!” Lekuk di wajahnya berubah. Alisnya meruncing, mukanya gerising, tak ingin mendengar permintaan yang bising.

“Menurutku, akan lebih baik jika aku ikut memban...”

“Tidak!” Singkat. Reaksinya cepat. Suaranya seperti kilat. Aku terperanjat. “Kalau kau ingin berhenti sekolah, silahkan beli kasur sekarang!” Getaran suaranya menggelegar. Hatiku hambar. Bulu kudukku, sedikitpun tak bergetar.  Apalagi gentar.

Aku tahu ini sudah tak masuk pikiran logis. Impian ayah akan jadi angan-angan jika begini terus. Impian ayah berarti impianku. Tidak. Tidak sedikitpun aku akan berhenti sekolah—kalau begitu. Menantang ayah sekaligus membantunya.

“Kasur itu akan segera ada di rumah ini.” Dengung batin-ku.

Setiap malam, setiap ayah tidur. Aku terbangun untuk mencari sampah tambahan—rezeki tengah malam. Sekitar empat jam aku pergi. Dan ayah belum tahu. Tidak boleh tahu.

Setahun berlalu. Saya akhirnya tahu, kita tak bisa menjadi selai kacang sekaligus selai coklat. Warna sama, rasa beda. Saya merasa ini sangat berat. Prestasi menurun drastis. Guru-guru kecewa. Paling mengecewakan saya adalah ayah juga kecewa.

Ayah tambah bekerja keras untuk membeli kasur. Ia berpikir aku tidak bisa belajar dengan baik karena tempat istirahat yang jelek lagi buruk. Ia selalu pulang lewat jam dua belas malam. Banting tulang betul ayah. Tak ingin melihatnya terus begitu. Ku-hentikan jam kerja malam. Fokus belajar. Membuktikan sekaligus membanggakan ayah dipenerimaan rapor selanjutnya—akhir sekolah.

+++

Kami memasuki gerbang sekolah. Segera menuju tenda yang sudah dipersiapkan. Aku minum air mineral kemesan. Ayah disampingku. Acara dimulai.

 “Untuk orangtua siswa yang berprestasi, Ayahanda Muhammad Mufti... Silahkan naik panggung, memberikan sapatah inspirasi untuk mendidik anak seperti anak Anda.” Gema MC di atas panggung.

Ayah terdiam menatap MC tersebut.

“Silahkan pak...” ajaknya disertai senyum.

Aku cukup gemetar. Ia perlahan meninggalkanku. Berjalan dengan bungkuk, karena kesehatan yang memburuk. Ia lelah tiap kerja lembur. Ayah sampai diatas panggung. Lalu, ia menatap seluruh penonton dengan mata berbinar. Ia menyeka air matanya. Airmatanya jatuh! Perlahan isak tangis terdengar. Tidak jelas. Samar-samar. Hanya sebentar.

“Terimakasih...” Ucapnya sederhana. Senyumnya terus mengembang sekaligus menahan haru. Menahan tangis. Lama ia begitu. “Saya tak bisa berkata apa-apa. Saya hanya ingin kasur sejak ia mulai sekolah.” Semua diam. Heran.

“Bukan untuk saya, untuk anak saya. Agar ia bisa tidur dan mengistrihatkan otaknya untuk hari-hari esoknya. Tapi, hari-hari ia bekerja keras untuk belajar dan menjadi siswa berprestasi. Tempat tidur terapi (Alas tanah yang berbenjol-benjol) tidak menjadi halangannya, ia terus bekerja keras. Saya mencoba menghiburnya, tetapi itu keseringan hingga akhirnya basi. Tidak malu. Kadang, saya harus mencontohi anak saya. Kita hanya harus mengajarinya bagaimana bersyukur dan kerja keras.” Cukup. Ayah memberikan mic kepada MC. Menyimpul bahagia. Standing applause bergemuruh.

Ayah turun dari panggung. Tiba-tiba, ia memungut satu-persatu sampah botol kemasan yang ada dibawah kursi tamu. Semua orang menganga. Tak ada yang menghentikannya. Akupun tidak. Ayah masih bersikeras membelikanku sebuah kasur.


Minggu, 22 Juli 2012

Ponsel, Sms, Cinta


Malam ini aku melihatmu memegang ponsel
Aku memang tahu, kau selalu memegang ponsel
Dimana-mana, kapanpun.
Aku juga tahu, bahwa kau langganan sms gratisan yang beribu-ribu itu
Tanganmu selalu sibuk mengetik, meski kau tak menatap layar ponselmu
Itu hebat, pikirku.
Bukan tanpa alasan kau sibuk bermain sms
Kau primadona, bidadari, selalu saja menggoda
Tapi sederhana.
dan itu yang kusuka darimu.
Nomor ponsel mu tentu ada di ponselku,
Meski di kontakku bukan nama asli mu.
“Calon Pacar” sekiranya begitu
Jangan heran, semua orang memimpikannya.
Bukan hal sulit mendapatkan nomormu.
Meskipun agak malu-malu, seperti anak-anak
Kau akhirnya mengenalku sebagai kenalan bukan teman atau yang lainnya
‘Pedekate’ mungkin kata tepat, alasan membuatku mengirim sepucuk sms
Kupikir aku gugup, waktu terasa lama.
Malam ini, (ternyata) tetap tak ada balasan...
Sms kosong pun tidak.

Suatu Subuh

Suatu subuh...
hanya ada kau dan aku, di tengah ilalang
memegang bahu kita masing-masing
sambil duduk, saling berhadapan, saling menatap, mata
kita hanya hitam, gelap.
tidak menunggu merah, biru, dan kuning.
bukan juga putih, tapi cahaya.
"Yah... jadi begitu..."
kabut keluar dari mulutmu, lalu kita kedinginan
sampai pagi, matahari menjelang
embun melekat di bulu matamu.

Pinrang, Ramadhan 2012